Polemik persiapan haji 2026 kian memanas setelah pemerintah Indonesia mendapatkan ultimatum resmi dari Kerajaan Arab Saudi. Ultimatum tersebut menegaskan bahwa Indonesia harus segera melakukan pembayaran uang muka (down payment) untuk mem-booking area Arafah dan Mina, lokasi penting bagi jemaah haji.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menegaskan hal ini dalam rapat kerja bersama DPD RI terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Haji dan Umrah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
“Surat yang kami terima, Indonesia sudah diultimatum. Jika tidak ada kepastian pembayaran, maka area yang selama ini dipakai Indonesia bisa diberikan ke negara lain,” ujar Marwan.
Risiko Kehilangan Area Strategis
Jika pembayaran uang muka tidak dilakukan tepat waktu, terutama pada tanggal 23 Agustus 2025, area Arafah dan Mina yang biasanya ditempati jemaah asal Indonesia dapat dialihkan ke negara lain. Hal ini akan menimbulkan dampak besar terhadap kenyamanan dan kelancaran pelaksanaan haji, mengingat Indonesia adalah negara pengirim jemaah terbesar di dunia.
Solusi: Dana BPKH Digunakan sebagai Uang Muka
Dalam menghadapi situasi mendesak ini, DPR RI bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) serta BP Haji bersepakat untuk menggunakan dana BPKH sebagai uang muka. Kesepakatan itu diambil melalui rapat maraton di akhir pekan.
Marwan menyebutkan:
“Kami sudah menyetujui pemakaian uang muka dari BPKH. Hal ini mendesak agar slot jemaah haji Indonesia tidak hilang.”
Revisi UU Haji Dikebut
Demi memastikan kepastian hukum, DPR RI mempercepat pembahasan Revisi UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Rencananya, regulasi ini akan segera disahkan pada rapat paripurna Selasa, 26 Agustus 2025 mendatang.
RUU tersebut juga membawa perubahan struktural penting, termasuk usulan agar Badan Penyelenggara Haji bertransformasi menjadi Kementerian Haji.
Konsekuensi Finansial
Dalam rapat, DPR menyetujui bahwa uang muka haji 2026 dipatok sebesar Rp 2,7 triliun untuk menampung kebutuhan 203 ribu jemaah. Angka ini dinilai sesuai dengan permintaan otoritas Arab Saudi dan urgensi pemenuhan syarat administrasi internasional.